Beritawarganet.com – Koding dan Pemrograman. Koding adalah proses mengubah keinginan manusia menjadi format yang dapat dipahami oleh komputer melalui bahasa pemrograman. Koding juga merujuk pada sub-aktivitas dalam pemrograman, yaitu pemberian instruksi kepada komputer—baik dalam bentuk PC, server, perangkat IoT, robot, dan lainnya—untuk menerapkan solusi yang telah dirumuskan melalui proses berpikir komputasional.
Koding dan Pemrograman: Pengertian dan Perbedaannya
Koding dan pemrograman adalah dua istilah yang saling terkait, namun memiliki perbedaan tergantung pada konteks penggunaannya. Koding merupakan proses mengubah ide, keinginan, atau solusi menjadi instruksi yang dapat dipahami dan dijalankan oleh komputer, menggunakan bahasa pemrograman.
Sementara itu, pemrograman mencakup seluruh siklus pengembangan perangkat lunak, mulai dari perencanaan, analisis, desain, implementasi, pengujian, hingga pemeliharaan sistem (McConnell, 2004). Dengan kata lain, koding adalah bagian dari pemrograman, tetapi pemrograman tidak terbatas pada proses koding semata.
Koding sering dianggap sebagai pintu gerbang bagi peserta didik untuk memahami konsep dasar pemrograman dan logika komputasi. Pengenalan terhadap koding dapat membantu menumbuhkan keterampilan berpikir kritis, kreatif, serta kemampuan problem-solving yang sangat dibutuhkan di era digital saat ini. Dengan memahami hubungan antara koding dan pemrograman, peserta didik dapat lebih siap dalam menciptakan solusi inovatif terhadap berbagai tantangan yang dihadapi.
Pembelajaran koding dapat dilakukan melalui berbagai metode, antara lain plugged coding, yaitu pembelajaran yang memanfaatkan perangkat komputer dan perangkat lunak; unplugged coding, yaitu pendekatan yang mengajarkan konsep pemrograman tanpa menggunakan komputer, melalui aktivitas fisik, simulasi, atau permainan; serta internet-based coding, yang memungkinkan proses pembelajaran dilakukan melalui platform daring interaktif dengan bantuan koneksi internet (Resnick et al., 2009; Grover & Pea, 2018).
Berdasarkan konsep tersebut, koding dapat dipahami sebagai praktik pemrograman pada perangkat komputasi yang melibatkan kemampuan berpikir komputasional dan pemahaman algoritma, yang dapat diterapkan dalam tiga bentuk pendekatan utama: internet-based, plugged, dan unplugged.
Kecerdasan Artifisial
Para ahli memiliki beragam definisi mengenai kecerdasan artifisial (KA), tergantung pada perspektif masing-masing. Kaplan dan Haenlein (2019) mendefinisikan KA sebagai kemampuan suatu sistem untuk secara akurat menginterpretasikan data eksternal, belajar dari data tersebut, serta menerapkan pembelajaran tersebut untuk mencapai tujuan dan menyelesaikan tugas tertentu.
Sementara itu, Poole dan Mackworth (2010) mendefinisikan KA sebagai bidang kajian yang berfokus pada sintesis dan analisis agen komputasional yang dapat bertindak secara cerdas.
Russell dan Norvig (2010) menambahkan bahwa KA merupakan studi tentang agen cerdas yang mampu menerima persepsi dari lingkungan dan mengambil tindakan. Agen ini dapat berpikir seperti manusia (thinking humanly), bertindak seperti manusia (acting humanly), berpikir secara rasional (thinking rationally), dan bertindak secara rasional (acting rationally).
Jenis Pendekatan | Uraian | Sumber |
---|---|---|
Berpikir Seperti Manusia | “Upaya baru yang menarik untuk membuat komputer berpikir … dalam arti penuh dan harfiah.” “[Otomatisasi] aktivitas yang kita kaitkan dengan pemikiran manusia, aktivitas seperti pengambilan keputusan, pemecahan masalah, pembelajaran …” |
Haugeland (1985) Bellman (1978) |
Berpikir Secara Rasional | “Studi tentang kemampuan berpikir melalui penggunaan model komputasional.” | Charniak dan McDermott (1985) |
Bertindak Seperti Manusia | “Seni menciptakan mesin yang melakukan fungsi yang memerlukan kecerdasan ketika dilakukan oleh manusia.” “Studi tentang bagaimana membuat komputer melakukan hal-hal yang saat ini lebih baik dilakukan oleh manusia.” “…dan bertindak.” |
Kurzweil (1990) Rich dan Knight (1991) Winston (1992) |
Bertindak Secara Rasional | “Kecerdasan Komputasional adalah studi tentang desain agen cerdas.” “Kecerdasan buatan berkaitan dengan perilaku cerdas dalam artefak.” |
Poole et al. (1998) Nilsson (1998) |
Dalam konteks ini, Kecerdasan Artifisial (KA) mengacu pada cabang ilmu komputer yang berupaya mengembangkan sistem yang mampu melaksanakan tugas-tugas yang biasanya memerlukan kecerdasan manusia, seperti pengenalan pola, pengambilan keputusan, dan pemrosesan bahasa alami. Dengan kata lain, KA berkaitan dengan penciptaan algoritma dan model yang memungkinkan komputer menjalankan fungsi-fungsi kompleks yang umumnya dilakukan oleh manusia. Hal ini menjadikannya sebagai disiplin ilmu yang inovatif dan terus berkembang.
Sejarah perkembangan KA dimulai pada pertengahan abad ke-20 dengan munculnya ide-ide awal dari para pemikir seperti Alan Turing, yang pada tahun 1950 memperkenalkan konsep Turing Test untuk mengukur kecerdasan mesin (Turing, 1950). Turing Test adalah sebuah evaluasi di mana seorang penguji berinteraksi dengan dua entitas—satu manusia dan satu mesin—tanpa mengetahui mana yang mana. Jika penguji tidak dapat membedakan antara manusia dan mesin berdasarkan respons yang diberikan, maka mesin tersebut dianggap berhasil melewati Turing Test.
Lahirnya istilah “kecerdasan artifisial” secara resmi ditandai pada Konferensi Dartmouth tahun 1956, yang diselenggarakan oleh John McCarthy dan rekan-rekannya. Konferensi ini juga menjadi titik awal pengembangan berbagai algoritma dan model dalam bidang KA. Masa awal perkembangan dari tahun 1950-an hingga 1970-an menjadi periode penting dalam pembentukan fondasi teori dan praktik KA.
Periode ini dikenal sebagai “musim semi Kecerdasan Artifisial (KA)”, yang ditandai dengan kemajuan pesat dalam pemecahan masalah dan pengembangan sistem pakar. Namun, pada tahun 1980-an, muncul keterbatasan teknologi dan harapan yang tidak realistis, yang kemudian memicu “musim dingin KA”, yaitu masa ketika pendanaan dan penelitian mengalami penurunan drastis (Moor, 2006).
Sejak awal tahun 2000-an, kemajuan dalam komputasi, ketersediaan mahadata (big data), serta perkembangan algoritma machine learning telah membawa kebangkitan kembali KA. Teknologi ini kini diterapkan di berbagai bidang, seperti kesehatan, keuangan, dan transportasi (Russell & Norvig, 2010). Ke depan, proyeksi perkembangan KA menunjukkan tren transformasi yang berkelanjutan, memungkinkan aplikasi yang semakin canggih, termasuk pengembangan Kecerdasan Artifisial Umum (AGI) yang mampu meniru kemampuan kognitif manusia secara lebih luas (Bostrom, 2014).
Konsep Keilmuan KA
Konsep keilmuan KA mencakup berbagai disiplin ilmu yang berfokus pada pengembangan sistem dan aplikasi yang memungkinkan mesin memiliki kemampuan kognitif mirip manusia. KA terbagi menjadi dua kategori utama:
-
Kecerdasan Artifisial Sempit (Narrow AI): Dirancang untuk menjalankan tugas-tugas spesifik.
-
Kecerdasan Artifisial Umum (General AI): Memiliki kapasitas untuk belajar dan memahami berbagai tugas dalam konteks yang lebih luas (Russell & Norvig, 2010).
Dalam pengembangannya, pendekatan yang sering digunakan meliputi machine learning, yang memungkinkan sistem belajar dari data dan meningkat seiring waktu, serta deep learning, yang menggunakan jaringan saraf tiruan untuk mengidentifikasi pola dan hubungan kompleks dalam data (Goodfellow et al., 2016).
Pendekatan Interdisipliner dan Tanggung Jawab Etis
Pengembangan KA bersifat interdisipliner, melibatkan bidang-bidang seperti ilmu komputer, matematika, statistik, kognitif, neurosains, dan etika. Penelitian dalam bidang ini tidak hanya berfokus pada peningkatan kemampuan teknis mesin, tetapi juga mempertimbangkan implikasi sosial dan etika, termasuk dampaknya terhadap pekerjaan, privasi, dan pengambilan keputusan oleh sistem KA (Binns, 2018).
Dengan memahami kecerdasan artifisial dari berbagai perspektif, ilmuwan dan praktisi dapat merancang solusi yang lebih etis dan berkelanjutan. Pendekatan ini akan memengaruhi cara manusia berinteraksi dengan teknologi dan memastikan bahwa KA digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Kecerdasan Artifisial (KA) menawarkan berbagai manfaat signifikan di berbagai sektor, termasuk kesehatan, pendidikan, dan industri.
Dalam bidang kesehatan, KA dapat menganalisis data medis dengan cepat dan akurat untuk mendeteksi penyakit, merumuskan diagnosis, serta merekomendasikan pengobatan yang tepat. Hal ini meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam perawatan pasien (Esteva et al., 2019).
Di sektor pendidikan, KA mampu mempersonalisasi pengalaman belajar dengan menyesuaikan materi ajar sesuai kebutuhan individu peserta didik, serta memberikan umpan balik yang tepat waktu dan relevan (Woolf, 2010).
Sementara itu, dalam dunia industri, KA dapat mengotomatiskan proses, mengoptimalkan rantai pasokan, dan meningkatkan produktivitas dengan meminimalkan kesalahan manusia. Dengan kemampuan mengolah data besar dan mengambil keputusan berdasarkan analisis kompleks, KA berpotensi meningkatkan efisiensi operasional dan menurunkan biaya, yang pada akhirnya meningkatkan daya saing perusahaan (Brynjolfsson & McAfee, 2014).
Dengan demikian, penerapan KA tidak hanya memfasilitasi inovasi, tetapi juga memberikan nilai tambah yang substansial bagi masyarakat secara keseluruhan.
Pemahaman literasi kecerdasan artifisial bagi peserta didik mencakup beberapa aspek penting yang harus dikuasai agar mampu menghadapi era digital dengan lebih baik. Peserta didik perlu memahami dasar-dasar konsep KA serta cara kerja sistem KA, termasuk proses pembelajaran mesin dan teknik-teknik yang digunakan (UNESCO, 2021).
Pemahaman tentang data sangat penting dalam pengembangan model Kecerdasan Artifisial (KA). Hal ini mencakup pengenalan terhadap jenis data yang digunakan, serta pemahaman mengenai bagaimana data tersebut dikumpulkan, diproses, dan dianalisis untuk menghasilkan informasi yang bermanfaat (Lathrop & Gold, 2016).
Peserta didik perlu dilatih untuk berpikir kritis terhadap aplikasi KA, termasuk mempertimbangkan aspek etika dan potensi bias yang mungkin muncul dalam sistem tersebut. Mereka juga harus memahami dampak sosial dari keputusan yang diambil oleh sistem KA serta bagaimana keputusan tersebut dapat mempengaruhi individu dan masyarakat secara luas (Hagendorff, 2020).
Literasi KA tidak hanya mencakup pemahaman teoritis, tetapi juga keterampilan praktis, seperti kemampuan berinteraksi dengan sistem KA, pemahaman dasar pengkodean, serta penggunaan alat-alat KA yang relevan (UNESCO, 2021).
Dengan menguasai aspek-aspek tersebut, peserta didik akan lebih siap untuk berkontribusi dalam diskusi mengenai teknologi dan penerapannya, serta dapat menerapkan keterampilan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Berikut adalah beberapa kurikulum tentang Kecerdasan Buatan (KA) yang dibuat oleh berbagai lembaga di dunia dan dapat menjadi acuan bagi para pendidik:
-
The Artificial Intelligence (AI) for K-12 Initiative
Website: https://ai4k12.org/ -
Learn AI Singapore
Website: https://learn.aisingapore.org/educators/ -
Commonsense Education – AI Literacy Lessons for Grades 6-12
Website: https://www.commonsense.org/education/collections/ai-literacy-lessons-for-grades-6-12