Daftar Isi
Jawaban Mengidentifikasi Unsur Kritik dan Esai – Halo sobat, pada pembahasan kali ini akan disajikan informasi mengenai jawaban mengidentifikasi unsur kritik dan esai yang terdapat pada buku kelas XII yaitu buku Bahasa Indonesia SMA/MA/SMK/MAK KELAS XII Edisi Revisi 2018.
Sobat akan menjawab beberapa pernyataan mengenai teks berjudul capaian eksperimen novel lelaki harimau yang terdapat pada halaman 189 buku Bahasa Indonesia kelas XII.
Pembahasan soal ini dibuat untuk memfasilitasi sobat dalam belajar. Sobat dapat menjawab pernyataan terkait sesuai dengan pemahaman sendiri. Setelah itu sobat dapat membandingkannya dengan jawaban yang akan diulas.
Berikut ini penjelasan selengkapnya, simak yuk !
Jawaban Mengidentifikasi Unsur Kritik dan Esai Halaman 189
Kegiatan 1
Mengidentifikasi Unsur Kritik dan Esai
Di atas telah disinggung bahwa kritik adalah penilaian terhadap suatu karya secara seimbang baik kelemahan maupun kelebihannya. Selanjutnya, gurumu atau salah seorang temanmu akan membacakan teks kritik terhadap cerpen. Untuk itu, tutuplah bukumu dan berkonsentrasilah untuk menangkap dan memahami isi teks tersebut.
Capaian Eksperimen Novel Lelaki Harimau
Maman Mahayana
Setelah sukses dengan Cantik itu Luka (Yogyakarta: AKY, 2002; Jakarta Gramedia, 2004) yang memancing berbagai tanggapan, kini Eka Kurniawan menghadirkan kembali karyanya, Lelaki Harimau (Gramedia, 2004; 192 halaman). Sebuah novel yang juga masih memendam semangat eksperimen. Berbeda dengan Cantik itu Luka yang mengandalkan kekuatan narasi yang seperti lepas kendali dan deras menerjang apa saja, Lelaki Harimau memperlihatkan penguasaan diri narator yang dingin terkendali, penuh pertimbangan, dan kehati-hatian.
Baca Juga : Jawaban Menyusun Artikel Opini Sesuai dengan Fakta
Pemanfaatan –atau lebih tepat eksplorasi–setiap kata dan kalimat tampak begitu cermat dalam usahanya merangkai setiap peristiwa. Eka seperti hendak menunjukkan dirinya sebagai ”eksperimental” yang sukses bukan lantaran faktor kebetulan. Ada kesungguhan yang luar biasa dalam menata setiap peristiwa dan kemudian mengelindankannya menjadi struktur cerita. Di balik itu, tampak pula adanya semacam kekhawatiran untuk tidak melakukan kelalaian yang tidak perlu. Di sinilah Lelaki Harimau menunjukkan jati dirinya sebagai sebuah novel yang tidak sekadar mengandalkan kemampuan bercerita, tetapi juga semangat eksploratif yang mungkin dilakukan dengan memanfaatkan berbagai sarana komunikasi kesastraan. Ia lalu menyelusupkannya ke dalam segenap unsur intrinsik novel bersangkutan.
***
Mencermati perkembangan kepengarangan Eka Kurniawan, kekuatan narasi itu sesungguhnya sudah tampak dalam Coret-Coret di Toilet (Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia, 2000), sebuah antologi cerpen yang mengusung berbagai tema. Dalam antologi itu, Eka terkesan bercerita lepas-ringan, meski di dalamnya banyak kisah tentang konteks sosial zamannya. Di sana, ia tampak masih mencari bentuk. Belakangan, cerpennya ”Bau Busuk” (Jurnal Cerpen, No. 1, 2002) cukup mengagetkan dengan eksperimennya. Dengan hanya mengandalkan sebuah alinea dan 21 kalimat, Eka bercerita tentang sebuah tragedi pembantaian yang terjadi di negeri antah-berantah (Halimunda).
Di negeri itu, mayat tak beda dengan sampah. Pembantaian bisa jadi berita penting, bisa juga tak penting, sebab esok akan diganti berita lain atau hilang begitu saja, seperti yang terjadi di negeri ini.
Meski narasi yang meminimalisasi kalimat itu, sebelumnya pernah dilakukan Mangunwijaya dalam Durga Umayi (Jakarta: Grafiti, 1991) yang hanya menggunakan 280 kalimat untuk novel setebal 185 halaman, Eka dalam Lelaki Harimau seperti menemukan caranya sendiri yang lebih cair. Di sana, ada semacam kompromi antara semangat eksperimen dengan hasratnya untuk tidak terlalu memberi beban berat bagi pembaca. Maka, Rangkaian kalimat panjang yang melelahkan itu, diolah dalam kemasan yang lain sebagai alat untuk membangun peristiwa. Wujudlah rangkaian peristiwa dalam kalimat-kalimat yang tidak menjalar jauh berkepanjangan ke sana ke mari, tetapi cukup dengan penghadiran dua sampai empat peristiwa berikut berbagai macam latarnya.
Cara ini ternyata cukup efektif. Lelaki Harimau, di satu pihak berhasil membangun setiap peristiwa melalui rangkaian kalimat yang juga sudah berperistiwa, dan di lain pihak, ia tak kehilangan pesona narasinya yang mengalir dan berkelak-kelok. Dengan begitu, kalimat-kalimat itu sendiri sesungguhnya sudah dapat berdiri sebagai peristiwa. Cermati saja Sebagian besar rangkaian kalimat dalam novel itu. Di sana –sejak awal –kita akan menjumpai lebih dari dua–tiga peristiwa yang seperti sengaja dihadirkan untuk membangun suasanan peristiwa itu sendiri.
Baca Juga : Cara Merepresentasikan Algoritma Penjelasan Lengkap Informatika
Tentu saja, cara ini bukan tanpa risiko. Rangkaian peristiwa yang membangun alur cerita, jadinya terasa agak lambat. Ia juga boleh jadi akan mendatangkan masalah bagi pembaca yang tak biasa menikmati kalimat panjang. Oleh karena itu, berhadapan dengan novel model ini, kita (pembaca) mesti memulainya tanpa prasangka dan menghindar dari jejalan pikiran yang berpretensi pada sejumlah horison harapan. Bukankah banyak pula novel kanon yang peristiwa-peristiwa awalnya dibangun melalui narasi yang lambat? Jadi, apa yang dilakukan Eka sesungguhnya sudah sangat lazim dilakukan para novelis besar.
***
Secara tematik, Lelaki Harimau tidaklah mengusung tema besar, pemikiran filsafat, atau fakta historis. Ia berkisah tentang kehidupan masyarakat di sebuah desa kecil. Dalam komunitas itu, hubungan antarsesama, interaksi antarwarga, bisa begitu akrab, bahkan sangat akrab.
Perhatikan kalimat pertama yang mengawali kisahan novel ini. ”Senja ketika Margio membunuh Anwar Sadat, Kyai Jahro tengah masyuk dengan ikan-ikan di kolamnya, ditemani aroma asin yang terbang di antara batang kelapa, dan bunyi falseto laut, dan badai jinak merangkak di antara ganggang, dadap, dan semak lantana.” (hlm. 1). Peristiwa apa yang melatarbelakangi pembunuhan itu dan bagaimana duduk perkaranya? Jawabannya terungkap justru pada bagian akhir novel ini. Jadi, peristiwa di bagian awal, sebenarnya kelanjutan dari peristiwa yang terjadi di bagian akhir saat Margio meminta
Anwar Sadat untuk mengawini ibunya (hlm. 192).
Itulah salah satu keunikan novel ini. Eka melanjutkan kalimat pertama itu tidak pada peristiwa pembunuhan yang dilakukan Margio, tetapi pada diri tokoh Kyai Jahro. Mulailah ia berkisah tentang kyai itu. Lalu, dari sana muncul pula tokoh Mayor Sadrah. Ia pun bercerita tentang tokoh itu. Begitulah, pencerita seperti sengaja tidak membiarkan dirinya berdiri terpaku pada satu titik. Ia menyoroti satu tokoh dan kemudian secara perlahan beralih ke tokoh lain. Di antara rangkaian peristiwa yang dibangun dan dihidupkan oleh setiap tokohnya, menyelusup pula mitos tentang manusia harimau, potret bersahaja masyarakat pinggiran, dan keakraban kehidupan mereka. Sebuah pesona yang disampaikan lewat narasi yang rancak yang seperti menyihir pembaca untuk terus mengikuti kelak-kelok peristiwa yang dihadirkannya.
Dalam hal itu, kedudukan pencerita seperti sebuah kamera yang terus bergerak merayap dari satu tokoh ke tokoh lain, dari satu peristiwa ke peristiwa lain. Akibatnya, peristiwa yang dihadirkan di awal: Senja ketika Margio membunuh Anwar Sadat, … seperti timbul-tenggelam mengikuti pergerakan tokoh-tokohnya. Seperti seseorang yang masuk sebuah lorong berbentuk spiral. Ia terus menggelinding perlahan mengikuti ke mana pun arah Lorong itu menuju. Ketika muncul di permukaan, ia sadar bahwa ternyata ia masih berada di tempat semula; di seputar ketika ia mulai masuk lorong itu.
***
Dalam konteks perjalanan novel Indonesia, pola alur seperti itu pernah digunakan Achdiat Karta Mihardja dalam Atheis (1949), meski dihadirkan untuk membingkai biografi tokoh Hasan. Putu Wijaya dalam Stasiun membangunnya untuk mengeksplorasi pikiran-pikiran si tokoh. Akan tetapi, dalam Dag-Dig-Dug, Putu Wijaya menggunakannya agak lain. Akhir cerita yang seperti mengulangi kembali peristiwa awal, dirangkaikan lewat dialog-dialog antartokoh mengingat karya itu berupa naskah drama. Iwan Simatupang dalam Kering dan Koong, menutup peristiwa akhir dengan mengembalikan kesadaran si tokoh sebagai akibat yang terjadi pada peristiwa awal. Tampak di sini, bahwa pola spiral sesungguhnya bukanlah hal yang baru sama sekali.
Baca Juga : Jawaban Menemukan Unsur Kebahasaan Artikel Opini dan Buku Ilmiah
Meskipun begitu, Lelaki Harimau, dilihat dari sudut itu, tetap saja menghadirkan kekhasannya sendiri. Selain pola alur yang demikian, Eka menggunakan kalimat-kalimat itu sebagai pintu masuk menghadirkan rangkaian peristiwa. Dengan demikian kalimat tidak hanya bertindak sebagai fondasi bagi pencerita untuk membangun peristiwa, juga sebagai pilar penyangga bagi peralihan peristiwa satu ke peristiwa lain melalui pergantian fokus cerita (focus of narration) dari tokoh yang satu ke tokoh yang lain. Dalam hal ini, Lelaki Harimau telah menunjukkan keunikannya sendiri.
Hal lain yang juga ditampilkan Eka dalam novel ini menyangkut cara bertuturnya yang agak janggal, tetapi benar secara semantis. Ia banyak menghadirkan metafora yang terasa agak aneh, tetapi tidak menyalahi makna semantisnya. Kadang kala muncul di sana-sini pola kalimat yang mengingatkan kita pada style penulis Melayu Tionghoa. Di bagian lain, berhamburan pula analogi atau idiom yang tidak lazim, tetapi justru terasa segar sebagai sebuah usaha melakukan eksplorasi bahasa. Dalam hal ini, bahasa Indonesia dalam novel ini jadi terasa sangat kaya dengan ungkapan, idiom, metafora, dan
analogi.
***
Dalam beberapa hal, Lelaki Harimau harus diakui, berhasil memperlihatkan sejumlah capaian. Ia menjelma tidak sekadar mengandalkan imajinasi, tetapi juga bertumpu lewat proses berpikir dan tindak eksploratif kalimat dengan berbagai kemungkinannya. Peristiwa perselingkuhan Nuraeni-Anwar Sadat pun, terasa sebagai kisah yang eksotis (hlm. 133-142); prosesi penguburan Komar bin Syueb, ayah Margio (hlm. 168-171), menjadi kisah yang di sana-sini menghadirkan kelucuan. Eka seperti sengaja memporakporandakan struktur kalimat yang klise, dan sekaligus menyodorkan pola yang terasa lebih segar, agak janggal dan terkadang lucu. Lelaki Harimau, tak pelak lagi, tampil sebagai novel dengan kategori: cerdas!
Baca Juga : Jawaban Menyusun Fakta dalam Bentuk Artikel
Jawaban :
No | Pernyataan | Ya | Tidak |
1 | Membahas tentang sebuah karya sastra | V | |
2 | Di dalamnya dituliskan isi atau sinopsis cerpen | V | |
3 | Teks tersebut menilai kelebihan dan kekurangan cerpen | V | |
4 | Penilaian dilakukan secara objektif, didasarkan atas data objektif yang benar-benar ada. | V | |
5 | Disertai kajian teori untuk menguatkan analisis atau penilaian. Disertai kajian teori untuk menguatkan analisis atau penilaian | V |
Kesimpulan
Demikianlah pembahasan mengenai jawaban mengidentifikasi unsur kritik dan esai yang terdapat pada buku kelas XII yaitu buku Bahasa Indonesia SMA/MA/SMK/MAK KELAS XII Edisi Revisi 2018.
Disclaimer : Pembahasan soal di atas merupakan panduan untuk belajar, jawaban tidak mutlak dan bersifat terbuka sehingga masih dapat dikembangkan.