Jawaban Membandingkan Kritik dengan Esai Berdasarkan Pengetahuan dan Pandangan

Jawaban Membandingkan Kritik dengan Esai Berdasarkan Pengetahuan dan Pandangan

Jawaban Membandingkan Kritik dengan Esai Berdasarkan Pengetahuan dan Pandangan – Halo sobat, dalam artikel kali ini akan disajikan informasi tentang jawaban membandingkan kritik dengan esai berdasarkan pengetahuan dan pandangan yang terdapat pada buku Bahasa Indonesia SMA/MA/SMK/MAK KELAS XII Edisi Revisi 2018.

Sebelum masuk dalam pembahasan soal, bacalah terlebih dahulu kedua teks di bawah. Setelah itu sobat dapat membandingkan kedua teks tersebut berdasarkan pengetahuan dan pandangan.

Pembahasan soal ini bertujuan untuk memfasilitasi sobat dalam belajar. Sobat dapat mengerjakan soal sesuai pemahaman sendiri dan membandingkan dengan jawaban yang akan dibahas berikut ini. Silahkan simak pembahasan selengkapnya.

Jawaban Membandingkan Kritik dengan Esai Berdasarkan Pengetahuan dan Pandangan Bahasa Indonesia Kelas XII Halaman 198

Kegiatan 2

Membandingkan Kritik dengan Esai Berdasarkan Pengetahuan dan Pandangan

Berdasarkan kajian pada pembelajaran sebelumnya, kamu dapat membuat perbandingan dengan melihat persamaan dan perbedaan di antara kritik dan esai. Persamaan dan perbedaan dapat dilihat berdasarkan pengetahuan yang ada dalam kritik dan esai serta sudut pandang yang diambil penulisnya dalam membahas objek kajian.

Baca Juga : Jawaban Mengetahui Unsur Esai

Berdasarkan pengetahuan (isi) yang dikaji di dalamnya, perbandingan kritik dan esai dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1: Perbandingan Kritik dan Esai Berdasarkan Pengetahuan yang Disajikan

No Kritik Esai
1 Objek kajian adalah karya, misalnya seni musik, sastra, tari, drama, film, pahat, dan lukis. Obyek kajian dapat berupa karya atau

fenomena

2 Ada deskripsi karya, bila karya berwujud buku deskripsinya berupa sinopsis atau novel. Tidak ada ringkasan atau sinopsis karya.
3 Menyajikan data obyektif. Tidak selalu membutuhkan data.

Dilihat dari pandangan penulisnya, perbandingan kritik dan sastra dapat diringkas sebagai berikut.

Tabel 2: Perbandingan Kritik dan Esai Berdasarkan Pandangan Penulisnya

No Kritik Esai
1 Penilaian terhadap karya dilakukan secara objektif disertai data dan alasan yang logis. Kajian dilakukan secara subjektif, menurut pendapat pribadi penulis esai.
2 Dalam memberikan penilaian seringkali

menggunakan kajian teori yang sudah mapan.

Jarang atau hampir tidak pernah mencantumkan kajian teori.
3 Pembahasan terhadap karya secara utuh dan menyeluruh. Objek atau fenomena yang dikaji tidak dibahas menyeluruh, tetapi hanya pada hal yang menarik menurut pandangan penulisnya. Meskipun demikian, pembahasannya dilakukan secara utuh.

Tugas

Berdasarkan perbandingan di atas, bacalah dua teks berikut ini.

Tentukanlah mana yang merupakan teks kritik dan mana yang merupakan teks esai. Jelaskan alasanmu!

Baca Juga : Jawaban Mengidentifikasi Unsur Kritik dan Esai

Teks I

Gerr

Oleh: Gunawan Muhammad

Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.

Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.

Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele.

Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.

Baca juga : Jawaban Menyusun Artikel Opini Sesuai dengan Fakta

Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah Gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.

Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk Latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang kayu muda yang di waktu siang memperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap.

Ia membuat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya cerita. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari tarik-menarik antara patos dan humor, antara suasana yang terbangun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah keutuhan itu.

Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.

Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”. Saya kira ia salah. Ia mungkin berpikir tentang keindahan dalam pengertian klasik, di mana tata amat penting. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.

Baca Juga : Jawaban Menemukan Unsur Kebahasaan Artikel Opini dan Buku Ilmiah

Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.

Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.

Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

Teks 2

Menimbang Ayat-Ayat Cinta

Karya sastra yang baik juga bisa menggambarkan hubungan antarmanusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Ini karena dalam karya sastra seharusnya terdapat ajaran moral, sosial sekaligus ketepatan dalam pengungkapan karya sastra.

Begitu pula yang ingin disampaikan oleh Habiburrachman El Shirazy dalam novelnya yang berjudul Ayat-ayat Cinta. Novel yang kemudian menjadi fenomena tersendiri dalam perjalanan karya sastra Indonesia, terutama yang beraliran islami, karena penjualannya mampu mengalahkan buku-buku yang digandrungi, seperti Harry Potter ini mengusung tema cinta islami yang dihiasi dengan konflik-konflik yang disusun dengan apik oleh penulisnya.

Baca Juga : Jawaban Menyusun Fakta dalam Bentuk Artikel

Novel ini mengisahkan perjalanan cinta antara 2 anak manusia, Fahri sebagai pelajar Indonesia yang belajar di Mesir, dan Aisha, seorang gadis Turki. Meskipun mengusung tema cinta tidak lantas membuat novel ini membahas cinta erotis antara laki-laki dan wanita. Banyak cinta lain yang masih bisa digambarkan, seperti cinta pada sahabat, kekasih hidup, dan tentu saja pada cinta sejati, Allah Swt. Perjalanan cinta yang tidak biasa digambarkan oleh Habiburrachman.

Nilai dan budaya Islam sangat kental dirasakan oleh pembaca pada setiap bagiannya. Bahkan, hampir di tiap paragraf kita akan menemukan pesan dan amanah. Ya, katakan saja paragraf yang sarat dengan amanah. Namun, dengan bentuk yang seperti itu tidak kemudian membuat novel ini menjadi membosankan untuk dibaca karena penulis tetap menggunakan kata-kata sederhana yang mudah dipahami dan tidak terkesan menggurui. Gaya penulis untuk mengungkapkan setiap pesan justru menyadarkan kita bahwa sedikit

sekali yang baru kita ketahui tentang Islam.

Latar yang Dilukis Sempurna

Hal lain yang pantas untuk diunggulkan dalam novel ini adalah kemampuan Habiburrachman untuk melukiskan latar dari tiap peristiwa, baik itu tempat kejadian, waktu, maupun suasananya. Ia dapat begitu fasih untuk menggambarkan tiap lekuk bagian tempat yang ia jadikan latar dalam novel tersebut ditambah dengan gambaran suasana yang mendukung sehingga seakan-akan mengajak pembaca untuk berwisata dan menikmati suasana Mesir di Timur Tengah lewat karya tulisannya.

Bukan hal yang aneh kemudian ketika memang ’Kang Abik’, begitu penulis sering dipanggil, mampu untuk menggambarkan latar yang bisa dikatakan sempurna itu. Ia memang beberapa tahun hidup di Mesir karena tuntutan belajar. Akan tetapi, tidak menjadi mudah juga untuk mengungkapkan setiap tempat yang dijadikan latar. Bahkan oleh orang Mesir sendiri memang tidak memiliki sarana bahasa yang tepat untuk mengungkapkan apa yang ingin ia sampaikan.

Alur cerita juga dirangkai dengan begitu baik. Meskipun banyak menggunakan alur maju, cerita berjalan tidak monoton. Banyak peristiwa yang tidak terduga menjadi kejutan. Konflik yang dibangun juga membuat novel ini layak menjadi novel kebangkitan bagi sastra islami setelah merebaknya novel-novel teenlit. Banyak kejutan, banyak inspirasi yang kemudian bisa hadir dalam benak pembaca. Bahkan bisa menjadi semacam media perenungan atas berbagai masalah kehidupan.

Karakter Tokoh yang Terlalu Sempurna

Satu hal yang ditemukan terlihat janggal dalam novel ini adalah karakter tokoh, yaitu Fahri yang digambarkan begitu sempurna dalam novel tersebut. Maksud penulis di sini, mungkin ia ingin menggambarkan sosok manusia yang benar-benar mencitrakan Islam dengan segala kebaikan dan kelembutan hatinya. Hal yang menjadi janggal jika sosok yang digambarkan begitu sempurna sehingga sulit atau bahkan tidak ditemukan kesalahan sedikit pun padanya.

Jika dibandingkan dengan karya sastra lama milik Tulis Sutan Sati, mungkin akan ditemukan kesamaan dengan karakter tokoh Midun dalam Roman Sengsara Membawa Nikmat yang berpasangan dengan Halimah sebagai tokoh wanitanya. Dalam roman tersebut, Midun juga digambarkan sebagai sosok pemuda yang sempurna dengan segala bentuk fisik dan kebaikan hatinya.

Baca Juga : Jawaban Menyusun Opini dalam Bentuk Paragraf

Hanya saja, di sini penggambarannya tidak menggunakan bahasa-bahasa yang langsung menunjukkan kesempurnaan tersebut sehingga tidak terlalu kentara. Ini di luar bahasa karya sastra lama yang cenderung suka melebih-lebihkan (hiperbola). Perbedaan yang lain adalah tidak banyak digunakannya istilahistilah islami dalam roman tersebut daripada novel Ayat-ayat Cinta.

Pembaca yang merasakan hal ini pasti akan bertanya-tanya, adakah sosok yang memang bisa sesempurna tokoh Fahri tersebut. Meskipun penggambaran karakter tokoh diserahkan sepenuhnya pada diri penulis, tetapi akan lebih baik jika karakter tokoh yang dimunculkan tetap memiliki keseimbangan. Dalam arti, jika tokoh yang dimunculkan memang berkarakter baik, maka paling tidak ada sisi lain yang dimunculkan. Akan tetapi, tentu saja dengan porsi yang lebih kecil atau bisa diminimalisasikan. Jangan sampai karakter ini dihilangkan karena pada kenyataannya tidak ada sosok yang sempurna, selain Rasulullah.

Tugas

  1. Buatlah perbandingan isi teks 1 dan teks 2 dengan menggunakan tabel berikut ini.
  2. Buatlah perbandingan cara pandang penulis kedua teks di atas dengan menggunakan tabel berikut.

Jawaban :

Aspek Gerr Menimbang ayat-ayat cinta
Hal yang dikaji Fenomena teater mandiri Karya sastra novel ayat-ayat cinta
Deskripsi/sinopsis Deskripsi karya berupa sinopsis
Data yang disajikan Terdapat data-data yang mendukung

 

2.

Aspek Gerr Menimbang ayat-ayat cinta
Cara penilaian Subjektif, berdasarkan pendapat pribadi penulis esai. Objektik, disertai dengan data.
Penggunaan kajian teori Terdapat kajian teori untuk melengkapi esai Tidak terdapat kajian
Keutuhan pembahasan Hanya hal yang menarik menurut pandangan penulis Pembahasan secara utuh dan menyeluruh

Kesimpulan

Demikianlah ulasan tentang jawaban membandingkan kritik dengan esai berdasarkan pengetahuan dan pandangan yang terdapat pada buku Bahasa Indonesia SMA/MA/SMK/MAK KELAS XII Edisi Revisi 2018. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.

Disclaimer : Pembahasan soal di atas merupakan panduan untuk belajar, jawaban tidak mutlak dan bersifat terbuka sehingga masih dapat dikembangkan.

Baca Juga :  Mengapa Jakarta Setiap Tahun Banjir?